Upaya kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan itu sendiri, yang meliputi pemeliharaan kesehatan masyarakat dan pemeliharaan kesehatan individu. Di dalam kesehatan masyarakat terdapat turunan lainya seperti kesehatan sekolah, kesehatan lingkungan (hygiene dan sanitasi), pemberantasan sakit menular seperti corona virus.
Sementara kesehatan individu lebih kepada upaya kesehatan induvidu yang dikenal dengan pelayanan kedokteran (medis). Pada pelayanan kesehatan individu terdapat hubungan antara pasien dan tenaga kesehatan khususnya dokter dan rumah sakit/klinik sebagai sarana kesehatan.
Hubungan yang timbul antara pasien, dokter, dan sarana kesehatan (rumah sakit/klinik) diatur oleh kaidah-kaidah tentang kedokteran (bagian kesehatan), hukum, non hukum (moral, etika, kesopanan, kesusilaan, dan ketertiban), sehingga bisa dibilang merupakan suatu hubungan yang unik dan menyeluruh. Karenanya tidak dapat dilihat dari satu sisi kaedah saja tetapi harus menyeluruh tidak dapat dipisahkan.
Hubungan yang unik dan komplek inilah menjadi sumber perdebatan, apakah hubungan pasien dan dokter seperti hubungan konsumen dan pelaku usaha yang tunduk pada UU Perlindungan Konsumen? Yaitu hubungan antara konsumen dan pelaku usaha di bidang jasa?
Pasien tidak dapat diidentikan dengan konsumen, karena hubungan yang terjadi antara pasien dan dokter bukan merupakan hubungan jual beli yang diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, melainkan hanya merupakan bentuk perikatan medis, yaitu perjanjian usaha (inspanning verbintenis), lebih tepatnya lagi disebut perjanjian usaha kesembuhan (terapeutik), bukan perikatan medis hasil (resultaat verbintenis).
Di sisi lain profesi dokter dalam etika kedokteran masih berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan” sehingga sulit disamakan antara pasien dan konsumen pada umumnya.
Jadi, jelas sekali bahwa hubungan dokter dan pasien adalah hubungan yang unik. Hubungan yang unik ini jugalah yang menjadi sumber masalah, karena keunikan ini mengandung ketidak seimbangan yaitu dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Karenanya tidak jarang pasien dengan mudah menduga telah terjadi malpraktek oleh dokter, tentunya akan ada tuntutan ganti rugi dan sebagainya.
Karenanya dalam sengketa pelayanan kesehatan tidak bisa disamarkan dengan sengketa konsumen biasa, yaitu memiliki beban pembuktian yang lebih berat dan diperlukan dukungan ahli dari berbagai bidang ilmu termasuk seorang ahli hukum atau pengacara yang menguasai hukum kesehatan. Disamping itu hendaknya dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit harus memiliki seorang public relation yang menguasai bidang hukum.
