Masalah hukum pada lingkup pertanahan dan properti tidak ada habisnya, apa lagi terhadap tanah kosong yang ditinggal pemiliknya atau tanah yang bukti kepemilikan atau peralihannya masih berupa AJB (Akta Jual Beli). Persoalan yang sering muncul terhadap tanah tersebut munculnya pihak tandingan yang mengklaim sebagai pemilik bahkan mungkin sedang mengajukan permohonan penerbitan sertifikat di BPN setempat. Bagaimana solusinya?
Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur kewajiban setiap orang yang memiliki hak atas sebidang tanah untuk melakukan pendaftaran/pensertifikatan di Kantor Pertanahan setempat. Tujuannya adalah untuk melindungi hak si pemilik dan untuk menghindari potensi permasalahan hukum di kemudian hari seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Namun dalam prakteknya, masyarakat masih banyak yang tidak memperhatikan aspek legal kepemilikan tanah. Bahkan, terkadang hanya bermodalkan kwitansi, sehingga tidak heran jika dikemudian hari muncul sengketa seperti munculnya pihak tandingan yang mengklaim bahkan sudah mengajukan permohonan penerbitan sertifikat di BPN setempat.
Dalam kasus tersebut, kekuatan pembuktian secara formil sangat dibutuhkan seperti keaslian bukti pembayaran, keaslian AJB, saksi-saksi, foto-foto, bukti penguasaan fisik, dll. Setelah yakin dengan kekuatan pembuktian, barulah memikirkan langkah hukum yang dimulai dari ajakan musyawarah. Pada tahap ini kedua pihak saling ujuk argumentasi dan menyampaikan bukti-bukti. Selain itu dibutuhkan sikap tenang sampai diketahui akar permasalahan yang bisa jadi karena adanya penipuan yang dilakukan oleh penjual kepada pihak lawan.
Jika upaya musyawarah telah maksimal dan tidak ada kemungkinan kata sepakat yang menguntungkan kita, maka langkah selanjutnya adalah mengajukan keberatan atau pemblokiran sertifikat di kantor pertanahan setempat. Pengajuan pemblokiran harus disertai dengan bukti-bukti dan kronologi/riwayat tanah yang menjadi objek sengketa tersebut.
Keputusan menerima atau menolak permohonan pemblokiran oleh Kantor Pertanahan setempat sangat tergantung pada bukti-bukti dan kronologi/riwayat tanah yang diserahkan. Perlu dicatat bahwa bila jangka waktu penerimaan pemblokiran hanya 30 (tiga puluh) hari. Bila sengketa belum selesai dan ada keinginan untuk memperpanjang pemblokiran, maka diperlukan status bahwa perkara tersebut telah didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan nomor register perkara yang telah terdaftar. Artinya, harus segera lakukan gugatan di Pengadilan dan memberitahukannya kepada Kantor Pertanahan setempat. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa Kantor Pertanahan tidak memutuskan siapa yang paling berhak atau paling sah karena hal tersebut adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, kantor pertanahan akan otomatis tunduk pada hasil putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai dictum (bunyi putusan) yang tercatat dalam putusan pengadilan tersebut tanpa terkecuali.
